#DitaReview (Book) : Membongkar Kuasa Media – Ziauddin Sardar

Saat-saat (masih) jadi jurnalis kemaren, di beberapa kesempatan diskusi, banyak yang menanyakan eksistensi media massa zaman sekarang.

“Kebanyakan disetir oknum politik, jadi kita harus percaya yang mana?”
Gitu kira-kira inti pertanyaannya
Pengertian ‘Politik’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Simpelnya saya kasih penjelasan:
jika merujuk ke arti politik itu sendiri (arti nomor 3), maka prinsipnya media punya kepentingan politik masing-masing. Namun, ini lantas menjadi gak santey saat politik dicampuri penyokong dana untuk media itu sendiri
 Iya, duitnya yang nyetir.
Penjelasan kemudian saya lanjutkan dengan saran ber-tabayyun lewat berbagai sumber.
Selang beberapa bulan kemudian, ketika di Pare saya bertemu dengan teman diskusi yang -one in a million- alias susah didapet. Kita sesama lulusan Psikologi tapi memilih jalur karir berbeda. Ia memilih sebagai HR di sebuah startup fashion muslim Indonesia.
Namun, kita memiliki ketertarikan yang sama. Lebih tepatnya, ia membantu saya menemukan minat terhadap bidang yang disebut Psikologi Media. Betapa sumringahnya saya ada cabang khusus yang ini namanya. Saya selalu berusaha mencari ranah nyambungnya psikologi dengan pengalaman saya bekerja di media. Intinya, kita sama-sama bermaksud “meluaskan” perhatian dari Ilmu Psikologi untuk bidang yang mungkin belum banyak digeluti. Eumm...banyak sih mungkin tapi kami belum nemu aja. Inilah titik awal kami.
Dalam ketertarikan kami terhadap isu ini, saya pun menemukan buku ini. 
sedep gak tuh covernya?


Simpelnya sih karena cover dan judulnya. Seperti yang saya pernah sedikit paparkan di laman Instastory, saya berpikir awalnya buku ini memuat info-info terkini perkembangan media dari berbagai belahan dunia (mengingat, nama penulisnya nampaknya bukan orang lokal dan covernya sangat artistik. Jarang kayaknya buku lokal begini hehehe). 


Dugaan saya, isinya berbentuk teks biasa seperti tampilan dalam “9 Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach.

Ternyata Kusalah Menilai




Tampilan dalamnya berupa komik karya ilustrator Borin Van Loon.
jadi suka dong bacanya
Buku ini menjabarkan studi media (yang saya cari-cari). Dari pengertian, bentuk, dan output. Medianya terdiri dari cetak, televisi, dan digital. Produknya meliputi berita, iklan dan film.
Dalam buku setebal 170-an halaman ini, para ahli setuju kalo masyarakat udah dibanjiri media. Terlebih karena hadirnya dunia digital yang diprediksi akan berkembang dengan saluran baru yang tidak kehitung jumlahnya. Tapi satu hal: “Lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik” (hal. 172)
Saking melimpahnya, media jelas jadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dong. Kita ngabisin lebih dari 15 tahun dalam kehidupan buat nonton dan baca koran, majalah dan sebangsanya. Kemampuan bicara, mikir, berinteraksi dengan orang lain, bahkan mimpi, dan kesadaran indentitas kita sendiri dibentuk oleh media.


Jadi, mempelajari media adalah mempelajari diri sendiri sebagai makhluk sosial.

yes...


Menurut Sean Cubitt (Pengajar Video & Media Studies di Universitas John Moore Liverpool), studi media termasuk ilmu semu (pseudo-akademis). Intinya sih karena studi ini melibatkan gabungan dari beberapa disiplin ilmu, di antaranya Linguistik, Sosiologi, Psikologi, bahkan Fisika dan Matematika (yang saya gak tahu dua terakhir itu sudut pandang untuk hal apa).
Spesifiknya lagi, informasi utama studi media dalam buku ini cerita tentang beberapa hal. Biar ringkes, saya sajikan dalam bentuk pointer aja ya, yakni:
  • bagaimana korporasi media dalam menjalankan peran menyampaikan informasi dan well...gak lepas dari isu independensi. Kebanyakan surat kabar menampilkan “fakta” melalui “filter politiknya”

Waspadalah...waspadalah

  • Studi audiens. Di sini kita gak akan lagi bicara teori ‘jarum suntik’ dkk. Tapi, riset tentang umpan balik dari audiens yang makin kritis. Salah satu studinya adalah yang dilakukan Elihu Katz (1993) dari Hebrew University dan Tamar Liebes , seorang pakar komunikasi dari almamater yang sama. Ini nih studi lintas-kultural terhadap opera sabun Amerika berjudul Dallas.
Audiens dibagi berdasarkan dua kerangka: referensial dan kritis. Referensial: audiens menganggap cerita itu bagian dari kehidupan nyata mereka dan mengasosiasikannya dengan pengalaman personal. Sedangkan kerangka kritis: merujuk ke asumsi dan tema dari program acara ini. Gak jauh-jauh dari akurasi dan representasi yang adil.
  • Teknik-teknik iklan, terdiri dari: teknik endorsement, statistik, ahli, ramuan misteri, nostalgia, dan teknik “pujian pengguna”
  • Hingga ke pengolahan sinema, mulai dari plot, karakterisasi dan stereotip Hollywood, Bollywood, Hongkong dan daerah lain semisal Indonesia.
Baca buku ini, mirip baca jurnal sih karena saya diajak ngikutin dinamika dari satu teori. Walaupun yhaaa teorinya di tahun-tahun tinggi, gak tahu deh masih relevan apa enggak. Jadi tantangan buat nyari pekembangannya di kondisi sekarang. Paling enggak, jadi punya dasarlah buat saya yang dalam dunia jurnalistik tahu praktek duluan dari teori.
Anyway, bahasa yang dipakai di dalam buku ini gak melulu asik ya dibaca. Mungkin karena bahasa terjemahan ya? Ada sih beberapa buku terjemahan ke Bahasa Indonesia yang bagus. Tapi tidak untuk ini. Jadi agak lama nyelesein bacanya padahal dengan format komik saya ngarepnya lebih mudah mencernanya. Jadi penasaran sama buku aslinya.
-----
Ceritanya, sekarang-sekarang ini, saya putuskan untuk ngabisin waktu dengan melakukan hal-hal yang saya rindukan. Ya, salah satunya: baca buku. Utamanya, buku cetak. Walau kadang masih menemukan e-book menarik untuk dibaca, tapi ditahan dulu.
Setelah menengok kesana-kemari di media sosial, saya mempersempit genre buku yang jadi favorit sekarang ini seputar psikologi media. Kadang non fiksi juga, kadang studi peradaban Islam juga.
Saya beli buku ini dari akun Instagram Berdikaribook. Lupa harganya berapa, tapi gak sampe gocap sih (Rp 50.000). Worth lah...
Thanks for reading
See ya at next chapter!
Salam dari Eyang Leia

Comments

Popular Posts