Main ke Perpustakaan Nasional DKI. Yakin?
Disclaimer: Tulisan ini bukan bermaksud tendensius negatif terhadap
Perpusnas DKI. Tapi lebih sebagai suggestion ke pengunjung, beberapa hal yang
harus dipersiapkan/diperhatikan untuk menggunakan layanan di sana.
Jadi, kemaren siang kali keduanya aku nyamperin Perpustakaan
Nasional DKI di Jalan Medan Merdeka Selatan. Setelah bulan lalu, pertama
kalinya ngunjungin sama Mbak Dhian dan kebanyakan kegiatan kita ikut seminar
CIPG dan keliling (termasuk berfoto-foto pastinya) menikmati estetika interior
gedung yang baru direnovasi dan diresmikan beroperasi tahun 2017.
Tapi kali ini enggak.
Niatku dateng buat duduk baca dengan 2 harapan utama:
- Bisa baca dengan tenang a.k.a gak berisik (this is the main benefit why I choose to read in library)
- Koleksi bukunya berlimpah jadi kemungkinan nemuin buku yang kucari, lebih besar
Ternyata setelah sampe sana. Gak seperti yang kuharapkan. Sekali
lagi, ini pengalaman pribadi ya. Mungkin bisa beda sama orang lain.
Aku bukan “kutu buku” atau “anak perpus” mentah-mentah, tapi
cuma kebetulan suka baca dan suka suasana tenang-santai untuk baca. Sekali lagi,
dengan harapan inilah aku pergi ke perpus. Tapi, di lantai 21 tempat berbagai
koleksi buku tersedia, masih ada aja orang-orang yang ngobrol bahkan ngakak semena-mena
di situ. Padahal ada disediain ruang khusus diskusi. Di situ tuh mas kalo mau
berisik. Harusnya...
Untunglah aku bawa headset. Pasang-dengarkan-nikmati. Tentunya
pilih musik instrumental. Kali ini jatuh kepada:
Terussss...dari beberapa pengalaman ngunjungi perpus daerah waktu
di Medan (tingkat kota dan provinsi, termasuk perpus kampus sendiri) dan
Perpusnas Blitar, aku jadi gamang masuk ke perpus yang katalognya terpisah
berjauhan satu sama lain, kayak di Perpusnas ini. Iya, saking luasnya ruangannya.
Tapi ruangannya jadi gak padet buku, space-nya kebanyakan buat kursi-kursi
pembaca, yang pada sore itu...lempang.
Berikutnya, kan ada komputer khusus katalog ya. Kucarilah
sumber-sumber terkait psikologi di ranah media dengan harapan ketemu buku
literatur paling enggak satu judul aja karena belum terbayang pastinya itu
buku. Hasilnya? kemana-mana dong judulnya. Mungkin karena literatur untuk
bidang ilmu ini masih minim apa ya? Ngerasa males gak sih kalo nyari sesuatu di
katalog trus gak langsung dapet minimal yang nyerempet dikit ke materi yang
kita cari. Alhasil, aku milih cari manual aja di rak-raknya, masih di lantai
itu juga. Dikit kali ternyata, I mean...gak sebanyak (dan semudah) yang aku
temuin di perpus yang aku sebutin di atas.
So here the suggestions:
- Kalo mo muter-muter belum tahu pasti apa mau dibaca tapi beneran nyari bahan, datanglah lebih awal (pagi). Jadi punya banyak waktu untuk mondar-mandir naek-turun nyari referensi. Karena apa? Kategori aitem di perpus ini kan --hampir bisa dikatakan-- dipisahkan per lantai. Untuk mengaksesnya kamu bisa naek lift atau kalkulator, eh...eskalatoooor. Tapi eskalator cuma dari lantai dasar ke lantai 4. NAH, sedangkan kegiatan nunggu lift turun-naik itu bisa sangat nguras waktu. Iya, ada 5 lift yang beroperasi dari dan ke lantai 24. Semuanya sama, berawal dari lantai dasar. Kebayang kan durasi nunggunya.
- Kalo mau ngakses ruang-ruang di atas lantai 1
(selain musholla dan kantin), kita harus bawa kartu anggota, yang bisa
diurus di lantai 2. Ngurusnya free dan ringkas. Cukup isi data di komputer
yang disebar di ruangan keanggotaan itu (jangan lupa nomor KTP/Kartu
Pelajar), trus cetak nomor antrian di mesin kayak EDC gitu. Abis tuh
ngantri, dan dipanggil buat cetak kartunya. Batas kuota pendaftar 400
orang/hari.
Kemaren aku
dapet antrian 383 pas jam 4 sore. Tapi aku baru nyadar ternyata udah pernah
daftar online. Jadinya udah dapet nomor anggota dan tinggal input berdasarkan
nomor KTP. Udah deh, tinggal print nomor antrian. Komputer input datanya beda,
tapi CS yang ngelayaninnya sama.
Kalo
gak bawa kartu ini, misalnya ke ruangan multimedia. Kamu gak akan bisa akses
fasilitas multimedianya. Bisa curi-curi kan? Janganlah...ituh Harammmm. Yaaa gak akan bisa. Tiap
ruangan ada petugas penjaga atau sekyuriti yang bakal menyambut pengunjung
dengan tari-tarian pertanyaan: “Kartu anggotanya mana mbak?”
Gak ada? Ya suruh balik ke lantai 2 buat urus itu kartu sakti.
3.
Trus, gak boleh bawa tas kita nih ke
ruang-ruang tadi (again, kecuali musholla dan kantin). Dititip di loker
berkunci di lantai 1. Ntar kalo masuk lobi gedung langsung diarahin kok sama
satpamnya. Jadi kalo ada prentilan barang yang perlu dibawa, ya ditenteng.
Kecuali bawa laptop, ada dipinjemin bag plastik gitu. Tambahan: bawa tumbler
juga boleh. Asal jangan bawa kenangan indah waktu masih PDKT. Berat. Gak akan
kuat.
Dan untungnya hampir di tiap lantai dan ruangan (kecuali
toilet), ada pihak yang akan senang hati membantu kalo ditanyain. Kecuali dalam
kunjunganku kali ini, aku gak nanya terkait katalog karena awalnya pengen
eksplor sendiri sambil mau tau keseluruhan koleksinya apa aja.
Dan ini secuil gambaran interior di sana:
Comments
Post a Comment